Hai. Entah siapapun kamu, terima kasih menyediakan waktumu
mebaca ini. Ah, aku yakin tak akan ada juga yang akan membaca ini. Aku, dan
mungkin hanya selalu aku. Tak apa, setidaknya ini lahan luapan hati yang entah
siapa peduli. Ini kisah kehilangan. Ini kisah pembelajaran. Ini kisah dimana
kepercayaan melumpuhkan hati yang telah lama ingin mengundurkan diri. Ini kisah
dimana sesungguhnya kebahagiaan berbanding lurus dengan perpisahan. Ini kisah
dimana kamu percaya, kamu merasakan, tapi sebenarnya semua telah lenyap, dan
tidak nyata.
Katakanlah ia lelaki yang paling baik yang pernah kutemukan
selain ayah yang telah tenang di Surga sana. Ya, ia memang sangat baik. Sudi menghabiskan
waktunya, ratusan hari, bersamaku yang sama sekali tak membawa anugerah.
Katakanlah ia lelaki yang paling sabar. Sudi meredam
amarahnya dan mendengarkan segala luapan keegoisanku yang sedikitpun tak ada
guna. Mencoba memberi saran yang selalu kutentang, namun tetap sudi menyediakan
panca pendengarannya untuk segala ucapanku.
Katakanlah ia lelaki
yang paling menyenangkan, sudi mengikuti cara permainanku yang seperti
kekanakan. Mengeluh? Tidak, sama sekali tidak pernah. Bahkan raut wajahnya pun
tak menunjukkan tanda tanda penolakan.
Hai kamu yang mungkin tidak akan membaca ini, ingatkah kamu
permainan tradisional anak anak yang sering kita mainkan berdua?
Hai kamu yang sekarang aku tak tahu bagaimana, ingatkah kamu
kita pernah mencuri cabe untuk bermain masak memasak, bahkan menangkap ikan
dari got?
Ingatkah kamu?
Teman, tahukah kalian, dia tidak pernah mengeluh. Kotor,
kekanakan, tapi dia tetap mengikutiku, tanpa mengeluh.
Teman, apakah kalian mempunyai seseorang yang kalian percaya
untuk berbagi cerita tentang segala cita cita? Dimana kalian tak peduli akan
disebut pemimpi, dimana kalian tak berpikir kemungkinan buruk lain, kalian
terus bercerita, dengan mata berbinar dan dia menatap penuh seksama, seolah
cita cita yang kau ceritakan adalah hal penting baginya. Ya, aku mempunyainya,
dulu.
Aku menceritakan
segala keinginanku di saat dewasa kelak. Malu di awalnya, bodoh sekali, cita
cita yang merupakan hal paling privasi bagi seseorang, berani kubahas bersama
dengannya, ia, dirinya yang mungkin tak mengingatnya lagi.
Namun kulihat dia sungguh sungguh mendengarkan semua
ucapanku, mataku selalu menerawang ke dalam sudut matanya, mencari kemunafikan
yang mungkin ditutupinya agar aku tak sakit hati, namun tidak, aku tidak
menemukan. Yang kutemukan seutuhnya ketulusan dan ketertarikannya mendengar
segala kisahku, membuatku nyaman, dan
menceritakan keinginan keinginan bodoh lainnya. Tapi tidak, dimatanya semua
yang kuharapkan tidak bodoh, dimatanya semua yang kuucap adalah sesuatu luar
biasa yang harus kucapai.
“Kalo begitu rajin rajinlah belajar, katanya mau jadi duta
besar?” ingatkah kamu yang mungkin tak peduli lagi? Kau pernah mengucapkan itu
padaku. Disaat hujan, dimana kita dan kawan lainnya terjebak dalam kelas,
seharusnya kita latihan pramuka kala itu, tapi kita membahas cita cita yang
dulu pernah kuanggap tak mungkin. Ingatkah kamu? Kurasa tidak.
Teman, apa kalian mempunyai hadiah ulang tahun yang sangat
bermakna? Dimana hanya kalian yang memilikinya, dimana tak ada satu hadiahpun
yang membuatnya tersaingi. Aku mempunyainya. 11 Juli 2013. Ingatkah kamu wahai
sang alasan semua ini terkarya? Kita membuat janji bertemu kala itu. Ingin
merayakan ulang tahun dengan teman lainnya. Namun sayang, sahabat kita pergi ke
ibukota dengan keluarganya. Kau memberiku kejutan. Sungguh sunggu sebuah
kejutan. Kau memamerkan potongan rambutmu yang kau yakini akan kubenci. Kau
berhasil membuatku cemberut kala itu. Namun bukan itu, bukan itu hadiah yang
selalu kukenang.
Kau ingat, tiba tiba kau memasang wajah bersalah. Meminta
maaf karna kau tak dapat memberiku apa apa. Kau memelukku erat dan mengucapkan
selamat ulang tahun sambil terus meminta maaf. Tahukah kamu? Sesungguhnya kala
itu kau memberikan hadiah ulang tahun yang paling berharga yang pernah
kudapatkan. Tempat ternyaman yang pernah kurasakan. Aku merasa aman. Semua
sangat mahal bagiku. Kurasa kau tak pernah tahu bahwa aku sering mengandaikan
kau seperti itu, sekali lagi. Ya, aku merindukan dirimu.
Bukankah sudah kukatakan, ini kisah kehilangan. Aku ingin
menambahkan. Ini kisah dimana kebodohan menghancurkan semuanya. Ini kisah
dimana semua kisah adalah sebabku. Kebodohanku. Keegoisanku. Kemunafikanku. Dan
tak sedikitpun aku menyalahkanmu atas cerita ini. Atas ratusan hari yang pernah
kita jalani. Atas tumpukan kanvas berisi coretan semua kenangan yang tersimpan
apik di dalam hati. Yang tak kunjung tertimbun walau ku belajar melupakan. Yang
tak kunjung lenyap walau kucoba hilangkan. Ini kisah dimana dua insan yang
berbeda keyakinan, menjalani 205 hari dengan segala perasaan.
Mungkin ini sangat cengeng. Tak mengapa bila kau mengumpat,
semua murni tentang apa yang ada dihatiku. Tak ada yang salah jika seseorang
memiliki kisah kasih tak seindah dongeng dengan hidup bahagia selama lamanya.
Tak ada yang salah jika seseorang merasa sangat rapuh karena tak sanggup
menerima cinta tak selalu indah. Cengeng itu relatif. Sudah kukatakan ini kisah
kerinduan.
Aku merindukanmu. Karna sudah sangat lama aku kehilanganmu.
Semua bermula dari kebodohanku.
Kenaifanku. Keegoisanku. Keserakahanku.
Niat baik itu justru bumerang. Tahukah kamu, niatku kala itu
sama sekali bukan untuk membuatmu pusing dan terbebani. Aku murni berniat baik
agar kamu memiliki pergaulan yang luas. Tapi kau salah mengartikan. Kau pernah
berkata kepada teman lamamu, yang temanku juga, bahwa semua masalah yang kau
dapat itu karna aku, kan? Kau lupa, kau menggunakan handphoneku untuk mengirim
pesan singkat itu. Tentu aku membacanya. Dan selamat, kau berhasil membuatku
sungguh sungguh merasa bersalah, sampai sekarang.
Aku tak pernah tahu bahwa akhirnya sikapku membuat segalanya
pencar. Ya, kebodohanku. Aku tak tahu, apakah aku harus marah kepadamu ketika
kulihat rokok itu ditanganmu, asap itu keluar dari mulutmu, tapi bukankah aku
yang menyebabkan segala bebanmu itu? Marah kepadamu? Bukan, aku yang salah. Aku
sungguh meminta maaf, hei kamu yang entah pernah mengingat namaku atau tidak.
Aku tak pernah tahu harus bersikap bagaimana ketika
mendengar kata kata kasar itu keluar dari mulutmu yang dulu selalu membuatku
tertawa. Masih kuingat bagaimana marahnya wajahmu, tatapanmu, kepadaku ketika
kubahas tentang sikapmu yang mulai menjadi perokok. Masih kuingat detail kata
yang kau ucapkan untuk mengusirku. Entah dari sisimu kala itu, atau bermakna
untuk selamanya. Membiarkanku melewati kegelapan ujung gang yang kau (dulu)
sangat hapal bahwa aku menakutinya.
Tidak, aku tak membiarkan airmataku
mengalir seperti bagaimana kejadian yang persis sebelumnya. Namun kau lagi lagi
datang di saat yang tepat. kau mengejarku, tak tahu sejak kapan, kau meminta
maaf dan berjalan di sampingku. Kau tahu, aku lega kau masih tak mau membiarkanku
melewati gelap sendirian. Kau seharusnya tak perlu berminta maaf, karna
seharusnya aku yang begitu. Aku meminta maaf telah membuatmu sangat marah
seperti itu. Aku sungguh sungguh menyesal.
Tapi tahukah kamu
yang selalu kuusik, terselip harapan di semua ucapanku kala itu. Tahukah kamu
yang mungkin tak pernah bisa kembali seperti kamu yang dulu lagi, aku sama
sekali tak berniat membuatmu marah kala itu, aku hanya ingin mengingatkanmu
tentang segala harapan ibumu kepadamu yang sangat sayang untuk kau khianati.
Aku hanya ingin melihat ibumu bangga terhadapmu tidak seperti aku yang tak
pernah membuat orangtuaku bangga.
Namun, akhirnya memang segala yang kutakuti terjadi. Ranting
itu pun patah, tak sanggup menahan beban yang dberikan kepadanya. Kaupun menyerah,
tak sanggup lagi mendengarkan segala keegoisanku yang kubebankan kepadamu. Kau
memilih pergi, menjadi bebas seperti apa yang kau mau, hal yang tidak pernah
kuberikan kepadamu, yang selalu menuntut ingin didengarkan, di perdulikan,
namun tak pernah bertanya apa maumu. Dan sekarang kau mungkin menemukan
bagaimana kau ingin menjalankan hidupmu. Bukankah memang aku yang mengenalkanmu
kepada teman teman itu yang aku tak tahu kau akan menjadi seperti ini.
Teman, mungkin kalian bingung. Aku mengenalkan dia kepada
teman temanku yang lain. Aku berniat dia akan memiliki pergaulan lebih luas,
memiliki kesibukan lebih, namun aku tak menyangka justru aku memberinya beban.
Hai kamu, aku sungguh sungguh ingin meminta maaf. Hanya saja aku terlalu
pengecut untuk mengatakannya kepadamu langsung.
Kau ingat, kau pernah bercanda mengatakan aku mengobrol
padamu jika ada pentingnya saja. Sadarkah kamu, aku terdiam terpaku kala itu.
Tak tahu akan menjawab apa. Aku tersadar, mungkin kau benar. Aku selalu menjaga
jarak dan mengobrol seadanya denganmu. Namun, maukah kau tahu? Sesungguhnya aku
malu untuk bertatap muka denganmu. Aku tak berani akrab denganmu lagi. Aku
sungguh sungguh sangat merasa bersalah telah merubahmu menjadi kamu yang
seperti ini. Aku ingin mengubahmu namun jujur aku sangat takut kau akan
mengusirku lagi. Bukan, aku bukan takut karna menganggapmu menakutkan, justru
aku takut, bahkan sangat takut, kau akan menganggapku sangat mengganggumu,
aku takut kau menjadi muak dan benci
kepadaku, bahkan aku sangat jujur, yang aku takutkan adalah aku menambah beban
kepadamu.
Mungkin caraku kekanakan, namun aku tak tahu apa cara
teraman lainnya. Aku mengindari segala bentakan itu. Aku tak sanggup kalau yang
mengeluarkan kata kata itu adalah kamu, yang dulu sangat menghargai aku, kisah
kisahku, aku akan semakin merasa bersalah.
Hai kamu penyebab air
mataku sering melintasi pipi ini, pernahkah kau merindukanku atau hanya aku
yang selalu merindukanmu?
Hai kamu pencetus kisah 14 Februari 2013, pernahkah kau menangis karnaku atau hanya aku
yang selalu menangisimu?
Hai kamu pemuda non muslim yang selalu memarahiku dulu
ketika aku tak menjalankan kewajiban lima waktuku, pernahkah kamu mengingat
sedikit saja kejadian kejadian ketika kita masih bersama atau hanya aku yang
mengingatnya?
Atau setidaknya, pernahkah namaku ada di ingatanmu sedetik
saja?
Hai kamu yang mungkin akan menganggap semua tulisanku
tentangmu ini terlalu berlebihan, aku sungguh sungguh merasa bersalah dengan
semuanya, aku sungguh sungguh, kuharap kau sudi hanya sekedar memaafkanku.
Hai kamu yang selalu ingin aku pergi dari hidupmu, baiklah,
akan kulakukan. beri sedikit waktu untukku benar benar pergi darimu. Tak akan
instan melupakan cinta pertama. Untuk kesekian kalinya, aku meminta maaf telah
merubahmu menjadi seperti apa yang tak semestinya.