Kamis, 19 Desember 2013

Ini Saat Senin, 21 Oktober 2013.



Hai kamu yang tak pernah lepas dari ingatanku, apakah kau mengingat kisah pada tanggal ini?
 Kisah dimana aku tersadar bahwa aku harus menyerah mengharap perhatianmu. 
Atau lebih tepatnya, saat dimana aku tersadar bahwa aku yang terlalu berharap, walau kau terus mencoba mengatakan untukku pergi.

Ini tanggal dimana kamu meluapkan segala emosi, yang jelas karnaku juga. Kita mengerjakan tugas bersama kala itu, kau ingat? Tugas yang tak kunjung kuselesaikan, mengingat tanganku tak seterampil tanganmu, mengingat jiwa seniku tak sebanding dengan jiwa senimu, aku tak menyelesaikan tugas itu. Namun aku tentu berusaha. Mengerjakan tugas kesenian itu walau kutahu takkan kusiapkan. Kau tahu apa, aku semangat karna kau yang mengajakku mengerjakannya bersama, dengan teman kita yang lain tentunya.

Sesekali kau menjailiku, mencoba untuk membuatku marah dengan memegang batang rokok itu. Aku mungkin terlalu lancang, bukan siapa siapamu tetapi memberimu amarah tak jelas. Aku sadar aku tak tahu diri. Aku sadar aku perempuan heboh yang selalu mengusik.

Ketika teman teman kita yang lain sedang pergi, ketika suasana hanya kita berdua, aku mulai canggung. Bingung dan terus mencari kata apa untuk memulai pembicaraan. Mataku terus menatap buku matematika itu, pura pura mengerjakan tugas yang juga diberikan guru. Tapi jika kau sadar, perhatianku sama sekali tak mengarah pelajaran itu, perhatianku berpusat PADAMU. 
Iya kamu perokok aktif yang tak pernah memperdulikan kesehatannya lagi. 

Akhirnya aku tak tahan untuk tidak membahas sikapmu. Walau kutahu dengan cara yang pasti membuatmu murka. Aku sungguh sungguh berharap kala itu ada setidaknya satu kataku yang melekat pada ingatanmu. Harapan yang itu itu saja, berhenti merokok.
 
Situasi sedang tidak memungkinkan memang untukku membahas rokok rokok menyebalkan itu. Kita terus berdebat dengan berbagai spekulasi tentang bahayanya merokok, dan kau terus berkata tidak, kau tidak bisa berhenti. Tunggu, aku tak akan langsung menyerah untuk mengatakan terserah kau saja, tentu tidak.

Aku terus menatapmu, menelusuri dalamnya bola mata coklatmu, mencari adakah keperdulianmu untuk mendengarkan apa yang kuucap, seperti kamu yang dulu. Benar saja, tak lagi kutemukan. Mungkin kau sudah sangat muak denganku. Dan semua terucapmu. Pergi. Kau menyuruhku segera pergi. Kau sungguh sungguh marah. Aku takut melihat tatapan itu. Sadarkah kau, usai kau mengatakannya, aku tak berani menatap bola matamu.

Aku bangkit. Linglung. Tak percaya. Lemas. Namun tidak, aku tidak akan menangis didepanmu.
Ingatkah kamu saat kau membanting pintu itu kuat, sangat kuat, ketika aku tepat di depan pintu, berniat untuk meminta maaf, ingatkah kamu? Kala itu tanpa kau sadari air mataku jatuh di teras itu. 
Tepat ketika pintu itu tertutup rapat. 

Aku terpaku tak percaya. Tapi aku cukup beretika, aku pergi sesuai dengan keinginanmu. Dengan tangan gemetar dan hati yang ketakutan melewati gang gang gelap itu. Hari sudah maghrib kala itu. Sepi. Aku takut. Tenang saja, air mataku tlah mengering. 

Aku tak mau menangis, aku sudah pernah seperti ini. Bukankah sudah dua kali kau seperti ini? Ingatkah kamu? Kamu tetap saja, mengatakan maaf, tapi langkahmu tak beranjak, menyuruhku menghampirimu dan menyuruhku pergi. 
Tapi maaf, aku mungkin bukan gadis special fantastik, namun aku masih mengerti harga diri. Lagi, kau berdiri, menyuruhku menghampirimu. Aku tau kau akan mengeluarkan kata maaf dengan posisi tak bergeming sedikitpun. 

Tidak, untuk kali itu aku tidak berbalik menghampirimu. Harga diriku harus kupertahankan, mantan. Bukan, ini bukan gengsi. Andai aku bisa membedakannya dengan jelas. Kau mungkin heran mengapa aku tidak seperti aku yang kamu usir sebelumnya.

Adakah kau lihat tanganku yang bergetar? Adakah kau pahami tatapanku kepadamu? Kau meminta maaf kepadaku, tapi semua bukan salahmu, mantan. Semua murni kesalahanku karna lancang mengurusimu. 

Aku terlalu lancang untuk mengharapkanmu.

Ini tanggal dimana aku sungguh tersadar, kau bukan lagi pemuda pisces  yang pernah kukenal. Atau mungkin saja rasa sukaku yang terlalu sensitif menganggap perhatianmu adalah tanda cinta untukku. 

Tenang saja kamu, iya kamu yang selalu kubahas dalam blog ini, tenang saja kamu, aku sedang berusaha menghapusmu, walau kutahu tinta permanen yang kucoretkan ke dalam ingatanku akan susah terhapus walau diberi luka.
Seolah gambaranmu telah kupaku kedalam sudut memoriku, susah untuk kulepas.

Aku sangat ingin mengetahui, mantan. Pernahkah kamu merasa menyesal seperti aku menyesal telah membuatmu seamarah itu?

Aku ingin bertanya padamu, adakah kamu berpikir bagaimana perasaanku kala itu?

Aku ingin sekali tau, pernahkah kamu menangis karnaku? Aku sering menangisimu, mantan terindah, sangat sering.

Atau setidaknya, pernahkah kamu, sekali saja, mencemaskanku walau kita sudah tak bersama lagi?

Ms.Jeremy, ingat? Julukan yang pernah kau beri. Andai kau ingat.

Rabu, 18 Desember 2013

Gadis Penunggu Itu Lelah


Hai kamu yang telah membuatku menjadi gadis penunggu.

Waktu menjadi temanku kini.
Waktu menjadi rivalku kini.
Waktu menjadi penentu bagaimana akhir kisah ini.

Hai kamu yang membuatku kini terombang ambing dalam ketidak pastian.
Aku kini menjadi gadis penunggu.
Atau bahkan kau tak ingat lagi?

Bukankah kamu yang memberiku waktu untuk menunggu "kamu yang dulu"?
Kurasa kau tak ingat. Karna kau tak pernah usaha.

Hai kamu yang sering menganggap hidup berpihak pahit padamu.
Sadarkah kamu, kau terlalu sering mengeluh.
Mengeluh atas segala yang bahkan belum kau mulai.
Mengeluhkan segala kegagalan yang bahkan baru minim kau dapati.
Mengeluh berkata tak bisa namun bahkan kau belum mencoba.

Berhentilah mengeluh.

Ketidakpastianmu jauh tak berbanding dengan yang kurasa.

Aku menunggu ketidakpastian atas ketidakpastianmu.

Aku bersatu dengan waktu yang bahkan tak pernah kau beri.
Semu.

Kau ingat? Sudahlah kau tak perlu berusaha mengingatnya lagi.

Usah kau rangkum hal tak penting untuk ruang memorimu.

Aku dan kamu.
Hanya kita. Saling diam. Tenggelam dalam pikiran masing masing.

Aku. Aku sangat menahan kata yang selalu memaksa keluar.
Mengalihkan pusat memori ke dokumen lainnya.

Tidak, suasana sangat hening kala itu.

Terlalu munafik untuk bilang pikiranku tak tentangmu.


Aku menyenderkan kepala ini ke pundak itu. Pundak yang selalu sedia menampung airmataku, dulu.

Akhirnya kata yang telah dirangkai oleh pikiran kita masing masing terucap juga.


Kau bilang, haraplah aku menunggu sampai kau benar benar tak mengeluarkan asap tembakau dari mulutmu itu.
Ingatkah kamu?

Aku tak tahu. Apakah gadis itu harus menunggu. Atau sebaiknya dia melangkahkan kaki. Menunggu bukanlah masalah, namun tetapkah kamu menanti sesuatu yang memang tak pernah terjadi? Atau lebih tepatnya, memang tak pernah diusahakan untuk terjadi.

Sabtu, 07 Desember 2013

Aku Merindukan Pundak Itu



Hai kamu yang mungkin tak pernah lagi sudi mendengarkan segala cita citaku. Aku berterima kasih kepadamu. Sangat berterima kasih. Karna hanya kamu satu satunya orang yang rela menyediakan waktu mendengar semua kata kata tak penting dari mulutku, yang kini kusadar semua hanya khayalan semu, tak pernah tersedia realita didalamnya
.
Semua cita cita, harapan, dan tujuan yang dari dulu sudah kurancang, ketika semua orang berkata dengan semangatnya akan menjadi apa dia kelak. Dokter, polisi, guru, namun aku selalu berbeda, dengan lantang kukatakan cita citaku! dan aku kala itu terlalu percaya bahwa mimpi itu pasti akan didapat. Aku terbuai dengan semangat yang selalu kau beri.

Tapi kini, aku terjatuh sangat dalam. Sakit. Perih.

Hei kamu yang mungkin tak ingat lagi apa cita citaku. Kau tahu, aku, gadis bodoh yang tak pernah berani menyerukan suaranya, telah melakukan apa yang dirangkainya sejak lama. Gadis itu menceritakannya, berbagi dengan orang lain selain dirimu, mengutarakan cita citanya dengan penuh harap, penuh percaya diri. 

Namun dia terjatuh.

Aku. Gadis itu aku. Aku menceritakan kepada seluruh keluargaku, tentang kemana aku ingin mengambil perguruan tinggi. Apa jurusan yang ingin kupelajari. Apa pekerjaan yang kelak kan kudalami.
 Namun gadis itu lagi lagi hanya beromong kosong.

Ia bicara untuknya sendiri. Tak ada yang mendengarkan. Bahkan ocehannya mungkin hanya seperti nyanyian pengiring. Ia terus berkata apa yang ingin disampaikannya sejak lama. Kemudian ditentang, namun tidak, aku takkan secepat itu menyerah. Aku terus menjelaskan hingga akhirnya semua diam. Aku merasa menang kala itu. Aku langsung ingin menghubungimu, berterima kasih telah menjadi alasan aku berani menyuarakannya.

 Ah, tapi kau lupa diri nurul! Kau tak berhak mencarinya. Hentikan itu nurul. Berhentilah berharap.

Tapi, akan selalu beginilah kisahku. Mungkin tak ada kemenangan yang bisa kuraih. Tidak. Bahkan aku kalah dengan rokok untuk menarik perhatianmu.

Kau tahu, sejak aku menyerah untuk mengejarmu, badanku tak sekuat dulu. Ia selalu ingin jatuh, mungkin tubuh ini tak sekuat hatiku, lelah untuk berpura pura tegar.

Ternyata semua berdampak kepada cita cita yang telah lama kurangkum. Bintang yang telah lama kupilih untuk kuraih. Aku langsung tak diizinkan untuk menjalani apa yang kuharap. Tidak, tak ada kesempatan untukku. Omonganmu bahwa semua pasti bisa kuraih, tidak, kau berbohong. Aku sudah tidak bisa lagi merasakan seperti apa itu duta besar.

Kau tahu hal pertama yang kulakukan ketika mendengar semua kata kata pahit itu. Larangan itu. Kau tahu, aku mencarimu, mantanku. Aku mencarimu. Aku mencari melalui apa aku bisa menghubungimu. Aku ingin menangis menceritakan semuanya kepadamu. Aku ingin marah kepadamu karna tlah memberiku semangat.

Aku mencari pundakmu. Dimana aku merasa hanya itu tempat yang kau sediakan untukku.

Aku mencari matamu, ingin melihat tatapanmu yang sering tenangkan aku.

Namun aku terhenti. Kurang ajar sekali aku ini. Tak tahu diri memang.Untuk apa? Apa kau perduli? Kau pasti akan heran kenapa gadis bodoh ini tiba tiba menghampirimu, dengan mata sembab yang sama sekali tidak indah. Tidak, aku tidak ingin membuatmu malu.

Aku berusaha untuk tahu diri.

Lagipula, entah kau masih mau mendengarkan. Bodohnya aku. Jangan terlalu berharap.
Ini satu satunya tempat dimana aku bisa mengutarakan semua yang kupikirkan, seperti kamu dulu. Tap tentu saja tempat ini tak akan bisa kusebut penggantimu, karna kamu slalu memberiku tatapan menenangkan setiap mendengar ceritaku.

Karna kamu selalu tersenyum seolah semua yang kuceritakan merupakan kisah luar biasa yang membuatmu terkagum.

Karna kamu selalu menjawabnya dengan kata kata penuh semangat, membuatku tersenyum dan berkata pada diriku sendiri, bahwa cita citaku bukanlah khayalan bodoh pengisi hari hari.

Aku merasa, walau aku mungkin terlalu berharap, suatu hari kamu membaca ini, iya, kamu selalu mendengarkan kisah kisahku kan? Aku merasa suatu hari kau pasti tahu apa kesedihan yang kututupi ini. Aku merasa kamu membaca ini, kata demi kata, kemudian beralih ke kisah kisah lain di blog ini, ah sudahlah nurul! Aku kurang ajar sekali. Tidak, bukankah aku sudah berjanji tidak mengusikmu.

Maaf.

Aku ingin menceritakan semua disini, walau tak satupun yang akan perduli. Walau tak satupun yang akan membaca.

Aku Nurul Anggita Wibawa. Manusia penggila sastra yang kututupi sejak bangku SMA. Diam diam menciptakan puisi – puisi bodoh. Atau bahkan cerpen yang tak penting. Yang telah kubuang karna aku yakin tak ada yang ingin membaca. Mencoba beralih, melupakan dunia sastra. Tidak ada lagi sajak sajak, majas majas, gaya bahasa, atau apapun itu yang menghasilkan suatu karya, yang akan aku sendiri menyimpannya.

Namun, sulit.

Aku selalu ingin menggeluti dunia sastra. Mendalami sastra Inggris. Berharap masuk Hubungan Internasional. Menduduki sebuah jabatan di kantor Duta Besar. Terlalu tinggi memang khayalan ini. Di dalam khayalanku, setelah lulus aku ingin sekali ke negara tetangga, Malaysia. Aku telah lama mencari cari info mengenai duta besar, hubungan internasional, budaya budaya negara lain. Dan aku diberi tahu Malaysia memiliki kampus yang lebih murah namun lebih bagus untuk hubungan internasionalnya.

Namun untuk menunggu hasil seleksinya harus menunggu setahun. Tidak, itu tidak lama bagiku, aku sangat ingin menjelajahi dunia itu. Walaupun harus menganggur setahun untuk tidak kuliah sambil menunggu hasil seleksi, aku ingin lebih mendalami bahasa Inggris, mengajar juga mungkin? Ah entahlah, toh semua juga sudah jelas, takkan bisa terjadi.

Hai kamu yang sangat ingin menjadi angkatan. Aku minta maaf karna hanya bisa diam setiap kau menceritakan cita citamu. Sungguh, aku mendengarkan semua harapanmu, namun, hanya saja aku tak tau apa yang harus kujawab. Aku tak bisa melakukan apa lagi selain mendengarkanmu.

Hei kamu yang tentu sangat tampan bila memakai seragam angkatan. Berhentilah merokok, aku sangat menunggu masa dimana kamu menunjukkan senyum terbaikmu kepada ibumu dengan pakaian itu.

Dengan badan tegapmu yang sehat.

Dengan aromamu yang segar tanpa bau tembakau.

Dan kau kembali, berkumpul dengan teman lama, dengan aku yang entah menjadi apa selain menjadi karyawan kedutaan besar, yang duduk menepi, menatapmu penuh kagum, sambil bertanya, ingatkah kamu padaku, pradana pramuka SMAku?

Kamis, 05 Desember 2013

Sebut Saja Ini Perkenalan



Hai. Entah siapapun kamu, terima kasih menyediakan waktumu mebaca ini. Ah, aku yakin tak akan ada juga yang akan membaca ini. Aku, dan mungkin hanya selalu aku. Tak apa, setidaknya ini lahan luapan hati yang entah siapa peduli. Ini kisah kehilangan. Ini kisah pembelajaran. Ini kisah dimana kepercayaan melumpuhkan hati yang telah lama ingin mengundurkan diri. Ini kisah dimana sesungguhnya kebahagiaan berbanding lurus dengan perpisahan. Ini kisah dimana kamu percaya, kamu merasakan, tapi sebenarnya semua telah lenyap, dan tidak nyata.

Katakanlah ia lelaki yang paling baik yang pernah kutemukan selain ayah yang telah tenang di Surga sana. Ya, ia memang sangat baik. Sudi menghabiskan waktunya, ratusan hari, bersamaku yang sama sekali tak membawa anugerah.

Katakanlah ia lelaki yang paling sabar. Sudi meredam amarahnya dan mendengarkan segala luapan keegoisanku yang sedikitpun tak ada guna. Mencoba memberi saran yang selalu kutentang, namun tetap sudi menyediakan panca pendengarannya untuk segala ucapanku.

 Katakanlah ia lelaki yang paling menyenangkan, sudi mengikuti cara permainanku yang seperti kekanakan. Mengeluh? Tidak, sama sekali tidak pernah. Bahkan raut wajahnya pun tak menunjukkan tanda tanda penolakan. 

Hai kamu yang mungkin tidak akan membaca ini, ingatkah kamu permainan tradisional anak anak yang sering kita mainkan berdua?

Hai kamu yang sekarang aku tak tahu bagaimana, ingatkah kamu kita pernah mencuri cabe untuk bermain masak memasak, bahkan menangkap ikan dari got? 

Ingatkah kamu?

Teman, tahukah kalian, dia tidak pernah mengeluh. Kotor, kekanakan, tapi dia tetap mengikutiku, tanpa mengeluh.

Teman, apakah kalian mempunyai seseorang yang kalian percaya untuk berbagi cerita tentang segala cita cita? Dimana kalian tak peduli akan disebut pemimpi, dimana kalian tak berpikir kemungkinan buruk lain, kalian terus bercerita, dengan mata berbinar dan dia menatap penuh seksama, seolah cita cita yang kau ceritakan adalah hal penting baginya. Ya, aku mempunyainya, dulu.

 Aku menceritakan segala keinginanku di saat dewasa kelak. Malu di awalnya, bodoh sekali, cita cita yang merupakan hal paling privasi bagi seseorang, berani kubahas bersama dengannya, ia, dirinya yang mungkin tak mengingatnya lagi.

Namun kulihat dia sungguh sungguh mendengarkan semua ucapanku, mataku selalu menerawang ke dalam sudut matanya, mencari kemunafikan yang mungkin ditutupinya agar aku tak sakit hati, namun tidak, aku tidak menemukan. Yang kutemukan seutuhnya ketulusan dan ketertarikannya mendengar segala  kisahku, membuatku nyaman, dan menceritakan keinginan keinginan bodoh lainnya. Tapi tidak, dimatanya semua yang kuharapkan tidak bodoh, dimatanya semua yang kuucap adalah sesuatu luar biasa yang harus kucapai.

“Kalo begitu rajin rajinlah belajar, katanya mau jadi duta besar?” ingatkah kamu yang mungkin tak peduli lagi? Kau pernah mengucapkan itu padaku. Disaat hujan, dimana kita dan kawan lainnya terjebak dalam kelas, seharusnya kita latihan pramuka kala itu, tapi kita membahas cita cita yang dulu pernah kuanggap tak mungkin. Ingatkah kamu? Kurasa tidak.

Teman, apa kalian mempunyai hadiah ulang tahun yang sangat bermakna? Dimana hanya kalian yang memilikinya, dimana tak ada satu hadiahpun yang membuatnya tersaingi. Aku mempunyainya. 11 Juli 2013. Ingatkah kamu wahai sang alasan semua ini terkarya? Kita membuat janji bertemu kala itu. Ingin merayakan ulang tahun dengan teman lainnya. Namun sayang, sahabat kita pergi ke ibukota dengan keluarganya. Kau memberiku kejutan. Sungguh sunggu sebuah kejutan. Kau memamerkan potongan rambutmu yang kau yakini akan kubenci. Kau berhasil membuatku cemberut kala itu. Namun bukan itu, bukan itu hadiah yang selalu kukenang.

Kau ingat, tiba tiba kau memasang wajah bersalah. Meminta maaf karna kau tak dapat memberiku apa apa. Kau memelukku erat dan mengucapkan selamat ulang tahun sambil terus meminta maaf. Tahukah kamu? Sesungguhnya kala itu kau memberikan hadiah ulang tahun yang paling berharga yang pernah kudapatkan. Tempat ternyaman yang pernah kurasakan. Aku merasa aman. Semua sangat mahal bagiku. Kurasa kau tak pernah tahu bahwa aku sering mengandaikan kau seperti itu, sekali lagi. Ya, aku merindukan dirimu.

Bukankah sudah kukatakan, ini kisah kehilangan. Aku ingin menambahkan. Ini kisah dimana kebodohan menghancurkan semuanya. Ini kisah dimana semua kisah adalah sebabku. Kebodohanku. Keegoisanku. Kemunafikanku. Dan tak sedikitpun aku menyalahkanmu atas cerita ini. Atas ratusan hari yang pernah kita jalani. Atas tumpukan kanvas berisi coretan semua kenangan yang tersimpan apik di dalam hati. Yang tak kunjung tertimbun walau ku belajar melupakan. Yang tak kunjung lenyap walau kucoba hilangkan. Ini kisah dimana dua insan yang berbeda keyakinan, menjalani 205 hari dengan segala perasaan.

Mungkin ini sangat cengeng. Tak mengapa bila kau mengumpat, semua murni tentang apa yang ada dihatiku. Tak ada yang salah jika seseorang memiliki kisah kasih tak seindah dongeng dengan hidup bahagia selama lamanya. Tak ada yang salah jika seseorang merasa sangat rapuh karena tak sanggup menerima cinta tak selalu indah. Cengeng itu relatif. Sudah kukatakan ini kisah kerinduan.
Aku merindukanmu. Karna sudah sangat lama aku kehilanganmu. Semua bermula dari kebodohanku. 
Kenaifanku. Keegoisanku. Keserakahanku.

Niat baik itu justru bumerang. Tahukah kamu, niatku kala itu sama sekali bukan untuk membuatmu pusing dan terbebani. Aku murni berniat baik agar kamu memiliki pergaulan yang luas. Tapi kau salah mengartikan. Kau pernah berkata kepada teman lamamu, yang temanku juga, bahwa semua masalah yang kau dapat itu karna aku, kan? Kau lupa, kau menggunakan handphoneku untuk mengirim pesan singkat itu. Tentu aku membacanya. Dan selamat, kau berhasil membuatku sungguh sungguh merasa bersalah, sampai sekarang.

Aku tak pernah tahu bahwa akhirnya sikapku membuat segalanya pencar. Ya, kebodohanku. Aku tak tahu, apakah aku harus marah kepadamu ketika kulihat rokok itu ditanganmu, asap itu keluar dari mulutmu, tapi bukankah aku yang menyebabkan segala bebanmu itu? Marah kepadamu? Bukan, aku yang salah. Aku sungguh meminta maaf, hei kamu yang entah pernah mengingat namaku atau tidak.

Aku tak pernah tahu harus bersikap bagaimana ketika mendengar kata kata kasar itu keluar dari mulutmu yang dulu selalu membuatku tertawa. Masih kuingat bagaimana marahnya wajahmu, tatapanmu, kepadaku ketika kubahas tentang sikapmu yang mulai menjadi perokok. Masih kuingat detail kata yang kau ucapkan untuk mengusirku. Entah dari sisimu kala itu, atau bermakna untuk selamanya. Membiarkanku melewati kegelapan ujung gang yang kau (dulu) sangat hapal bahwa aku menakutinya. 

Tidak, aku tak membiarkan airmataku mengalir seperti bagaimana kejadian yang persis sebelumnya. Namun kau lagi lagi datang di saat yang tepat. kau mengejarku, tak tahu sejak kapan, kau meminta maaf dan berjalan di sampingku. Kau tahu, aku lega kau masih tak mau membiarkanku melewati gelap sendirian. Kau seharusnya tak perlu berminta maaf, karna seharusnya aku yang begitu. Aku meminta maaf telah membuatmu sangat marah seperti itu. Aku sungguh sungguh menyesal.

 Tapi tahukah kamu yang selalu kuusik, terselip harapan di semua ucapanku kala itu. Tahukah kamu yang mungkin tak pernah bisa kembali seperti kamu yang dulu lagi, aku sama sekali tak berniat membuatmu marah kala itu, aku hanya ingin mengingatkanmu tentang segala harapan ibumu kepadamu yang sangat sayang untuk kau khianati. Aku hanya ingin melihat ibumu bangga terhadapmu tidak seperti aku yang tak pernah membuat orangtuaku bangga.

Namun, akhirnya memang segala yang kutakuti terjadi. Ranting itu pun patah, tak sanggup menahan beban yang dberikan kepadanya. Kaupun menyerah, tak sanggup lagi mendengarkan segala keegoisanku yang kubebankan kepadamu. Kau memilih pergi, menjadi bebas seperti apa yang kau mau, hal yang tidak pernah kuberikan kepadamu, yang selalu menuntut ingin didengarkan, di perdulikan, namun tak pernah bertanya apa maumu. Dan sekarang kau mungkin menemukan bagaimana kau ingin menjalankan hidupmu. Bukankah memang aku yang mengenalkanmu kepada teman teman itu yang aku tak tahu kau akan menjadi seperti ini.

Teman, mungkin kalian bingung. Aku mengenalkan dia kepada teman temanku yang lain. Aku berniat dia akan memiliki pergaulan lebih luas, memiliki kesibukan lebih, namun aku tak menyangka justru aku memberinya beban. Hai kamu, aku sungguh sungguh ingin meminta maaf. Hanya saja aku terlalu pengecut untuk mengatakannya kepadamu langsung.

Kau ingat, kau pernah bercanda mengatakan aku mengobrol padamu jika ada pentingnya saja. Sadarkah kamu, aku terdiam terpaku kala itu. Tak tahu akan menjawab apa. Aku tersadar, mungkin kau benar. Aku selalu menjaga jarak dan mengobrol seadanya denganmu. Namun, maukah kau tahu? Sesungguhnya aku malu untuk bertatap muka denganmu. Aku tak berani akrab denganmu lagi. Aku sungguh sungguh sangat merasa bersalah telah merubahmu menjadi kamu yang seperti ini. Aku ingin mengubahmu namun jujur aku sangat takut kau akan mengusirku lagi. Bukan, aku bukan takut karna menganggapmu menakutkan, justru aku takut, bahkan sangat takut, kau akan menganggapku sangat mengganggumu, aku  takut kau menjadi muak dan benci kepadaku, bahkan aku sangat jujur, yang aku takutkan adalah aku menambah beban kepadamu.

Mungkin caraku kekanakan, namun aku tak tahu apa cara teraman lainnya. Aku mengindari segala bentakan itu. Aku tak sanggup kalau yang mengeluarkan kata kata itu adalah kamu, yang dulu sangat menghargai aku, kisah kisahku, aku akan semakin merasa bersalah.

 Hai kamu penyebab air mataku sering melintasi pipi ini, pernahkah kau merindukanku atau hanya aku yang selalu merindukanmu?

Hai kamu pencetus kisah 14 Februari 2013,  pernahkah kau menangis karnaku atau hanya aku yang selalu menangisimu?

Hai kamu pemuda non muslim yang selalu memarahiku dulu ketika aku tak menjalankan kewajiban lima waktuku, pernahkah kamu mengingat sedikit saja kejadian kejadian ketika kita masih bersama atau hanya aku yang mengingatnya?

Atau setidaknya, pernahkah namaku ada di ingatanmu sedetik saja?

Hai kamu yang mungkin akan menganggap semua tulisanku tentangmu ini terlalu berlebihan, aku sungguh sungguh merasa bersalah dengan semuanya, aku sungguh sungguh, kuharap kau sudi hanya sekedar memaafkanku.

Hai kamu yang selalu ingin aku pergi dari hidupmu, baiklah, akan kulakukan. beri sedikit waktu untukku benar benar pergi darimu. Tak akan instan melupakan cinta pertama. Untuk kesekian kalinya, aku meminta maaf telah merubahmu menjadi seperti apa yang tak semestinya.